Alasan Mengapa Jepang Menerapkan Kebijakan Ekonomi Perang
February 11, 2020
Alasan Mengapa Jepang Menerapkan Kebijakan Ekonomi Perang. Mengupas mengenai pembahasan terkait alasan jepang mempergunakan kebijakan ekonomi perang pada wilayahnya sendiri, mengaa bisa demikian dan bagaimana pembahasan lengkap dan jelasnya ? mari kita simak pembahasannya berikut ini.
Ekonomi perang menjadi kebijakan yang diterapkan oleh Jepang kala
menjajah Indonesia. Inti dari ekonomi perang tersebut adalah, Jepang
dapat meraih banyak keuntungan dari segi ekonomi yang dapat digunakan
sebagai dana segar bagi mereka untuk berperang. Tentunya, hal ini wajar
mengingat, Jepang tergabung ke dalam aliansi bersama Jerman dan Italia
pada saat itu.
Selain itu, Jepang juga sedang banyak berperang sehingga,
mereka membutuhkan banyak dana terutama bagi berbagai macam kebutuhan
perang dan ekonomi perang sendiri menjadi sebuah kebijakan yang pas bagi
negara matahari untuk memperoleh dana guna menyokong kebutuhan mereka
saat berperang.
Alasan Mengapa Jepang Menerapkan Kebijakan Ekonomi Perang
Setelah Jepang, Membom Pearl Harbour, Jepang memulai aksinya dengan menguasai wilayah yang memiliki potensi sumber daya.
Selama masa pendudukan Jepang di Indonesia, diterapkan konsep “Ekonomi perang”.
Ekonomi perang adalah kebijakan pemerintah penjajah Jepang yang
menggali semua kekuatan ekonomi di Indonesia untuk menopang kegiatan
perang pemerintah Jepang. Hal ini disebabkan karena sebelum memasuki PD
II, Jepang sudah berkembang menjadi negara industri dan sekaligus
menjadi kelompok negara imperialis di Asia. Jepang melakukan berbagai
upaya untuk memperluas wilayahnya dengan sasaran utamanya antara lain
Korea dan Indonesia. Indonesia sangat menarik bagi Jepang karena
Indonesia merupakan kepulauan yang begitu kaya akan berbagai hasil bumi,
pertanian, tambang, dan lain-lainnya.
Kekayaan
sumber daya Indonesia tersebut sangat cocok untuk kepentingan industri
Jepang. Selain itu, Indonesia juga dirancang sebagai tempat penjualan
produk-produk industrinya. Pada saat berkobarnya PD II, Indonesia
benar-benar menjadi sasaran perluasan pengaruh kekuasaan Jepang. Bahkan,
Indonesia kemudian menjadi salah satu benteng pertahanan Jepang untuk
membendung gerak laju kekuatan tentara Serikat dan melawan kekuatan
Belanda.
Setelah berhasil menguasai Indonesia, Jepang mengambil
kebijakan dalam bidang ekonomi yang sering disebut self help atau juga
sering disebut dengan Ekonomi Perang. Konsekuensinya tugas rakyat
beserta semua kekayaan dikorbankan untuk kepentingan perang. Hal ini
jelas amat menyengsarakan rakyat baik fisik maupun material.
Pada
waktu Jepang mendarat di Indonesia pada tahun 1942 keadaan perekonomian
di Indonesia lumpuh. Langkah pertama yang diambil pemerintah Jepang
adalah melakukan pengawasan dan perbaikan prasarana ekonomi seperti
jembatan, alat transportasi, telekomunikasi, dan bangunan-bangunan
diperbaiki. Kemudian peraturan pengendalian kenaikan harga. Bagi mereka
yang melanggar, akan dijatuhi hukuman berat.
Sejak
itulah kehidupan ekonomi menjadi lumpuh dan keadaan ekonomi berubah
dari ekonomi rakyat menjadi ekonomi perang. Langkah pertama yang
dilakukan Jepang adalah merehabilitasi prasarana ekonomi seperti
jembatan, alat-alat transportasi dan komunikasi. Selanjutnya Jepang
menyita seluruh kekayaan musuh dan dijadikan hak milik Jepang, seperti
perkebunan-perkebunan, bank-bank, pabrik-pabrik, perusahaan-perusahaan,
telekomunikasi dan lainlain.
Hal ini dilakukan karena pasukan Jepang
dalam melakukan serangan ke luar negaranya tidak membawa perbekalan
makanan Kebijakan ekonomi pemerintah pendudukan Jepang diprioritaskan
untuk kepentingan perang. Perkebunan kopi, teh dan tembakau yang
dianggap sebagai barang kenikmatan dan kurang bermanfaat bagi
kepentingan perang diganti dengan tanaman penghasil bahan makanan dana
tanaman jarak untuk pelumas.
Awal Mulanya Kebijakan Ekonomi Perang
Pola
ekonomi perang yang dilancarakan oleh Tokyo dilaksanakan secara
konsekuen dalam wilayah yang diduduki oleh angkatan perangnya. Setiap
lingkungan daerah harus melaksanakan autarki (berdiri di atas kaki
sendiri), yang disesuaikan dengan situasi perang. Jawa dibagi atas 17
lingkungan autarki, Sumatra atas 3 lingkungan dan daerah Minseifu
(daerah yang diperintah Angkatan Laut Jepang) dibagi atas 3 lingkungan
autarki. Karena dengan sistem desentralisasi maka Jawa merupakan bagian
daripada “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya” mempunyai dua tugas, yakni:
- memenuhi kebutuhan sendiri untuk tetap bertahan,
- mengusahakan produksi barang- barang untuk kepentingan perang.
- Dalam bidang perkebunan di masa Jepang mengalami kemunduran karena Jepang memutuskan hubungan dengan Eropa. Jepang mengubah tanah-tanah perkebunan menjadi tanah pertanian sesuai kebutuhan mereka. Beberapa kebijakan Jepang dalam bidang perkebunan antara lain sebagai berikut.
- Tanah-tanah perkebunan diganti dengan tanaman jarak yang dapat digunakan sebagai minyak pelumas mesin-mesin, termasuk mesin pesawat terbang.
- Tanaman kina juga sangat dibutuhkan, yaitu untuk membuat obat antimalaria, sebab penyakit malaria sangat mengganggu dan melemahkan kemampuan tempur para prajurit.
- Pabrik obat yang sudah ada di Bandung sejak zaman Belanda terus dihidupkan. Tanaman tebu di Jawa juga mulai dikurangi.
- Pabrik-pabrik gula sebagian besar mulai ditutup. Penderesan getah karet di Sumatra mulai dihentikan. Tanaman-tanaman tembakau, teh, dan kopi di berbagai tempat dikurangi.
Dalam bidang transportasi, Jepang merasakan kekurangan kapal-kapal sehingga Jepang terpaksa mengadakan industri kapal angkut dari kayu. Jepang juga membuka pabrik mesin, paku, kawat, dan baja pelapis granat, tetapi semua usaha itu tidak berkembang lancar karena kekurangan suku cadang.
Kebutuhan
pangan untuk menopang perang semakin meningkat organisasi Jawa Hokokai
giat melakukan kampanye untuk meningkatkan usaha pengadaan pangan
terutama beras dan jagung. Tanah pertanian baru, bekas perkebunan dibuka
untuk menambah produksi beras.
- Di Sumatra Timur, daerah bekas perkebunan yang luasnya ribuan hektar ditanami kembali sehingga menjadi daerah pertanian baru.
- Di tanah Karo juga dibuka lahan pertanian baru dengan menggunakan tenaga para tawanan.
- Di Kalimantan dan Sulawesi juga dibuka tanah pertanian baru untuk menambah hasil beras.
- Untuk kepentingan penambahan lahan pertanian ini, Jepang melakukan penebangan hutan secara liar dan besar-besaran. Di Pulau Jawa dilakukan penebangan hutan secara liar sekitar 500.000 hektar.
Dengan pembukaan hutan tersebut tanah pertanian semakin luas, akan tetapi kebutuhan pangan tetap tidak tercukupi. Untuk mengatasi keadaan ini kemudian pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa ketentuan yang sangat ketat yang terkait dengan produksi padi.
- Padi berada langsung di bawah pengawasan pemerintah Jepang. Hanya pemerintah Jepang yang berhak mengatur untuk produksi, pungutan dan penyaluran padi serta menentukan harganya. Dalam kaitan ini Jepang telah membentuk badan yang diberi nama Shokuryo Konri Zimusyo (Kantor Pengelolaan Pangan).
- Penggiling dan pedagang padi tidak boleh beroperasi sendiri, harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan.
- Para petani harus menjual hasil produksi padinya kepada pemerintah sesuai dengan kuota yang telah ditentukan dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah Jepang. Begitu juga padi harus diserahkan ke penggilingan padi yang sudah ditunjuk pemerintah Jepang. Dalam hal ini, berlaku ketentuan hasil keseluruhan produksi, petani berhak 40%, kemudian 30% disetor kepada pemerintah melalui penggilingan yang telah ditunjuk, dan 30% sisanya untuk persiapan bibit dengan disetor ke lumbung desa.
Sulitnya
pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasakan bertambah berat pada saat
rakyat juga merasakan penggunaan sandang yang amat memprihatinkan.
Pakaian rakyat compang camping, ada yang terbuat dari karung goni yang
berdampak penyakit gatal-gatal akibat kutu dari karung tersebut. Adapula
yang hanya menggunakan lembaran karet sebagai penutup.
Peraturan Perekonomian Pemerintahan Jepang
Dalam
rangka mengendalikan kebijakan di bidang ekonomi pemerintah Jepang juga
mengeluarkan peraturan untuk menjalankan perekonomian di bidang
perkebunan. Perkebunan-perkebunan diawasi dan dipegang sepenuhnya oleh
pemerintah Jepang. Rakyat dilarang menanam tebu dan membuat gula.
Beberapa perusahaan swasta Jepang yang menangani pabrik gula adalah
Meiji Seito Kaisya.
Jepang
membutuhkan sumber daya untuk menunjang Perang Pasifik. Indonesia yang
berhasil dikuasai oleh Jepang. Indonesia merupakan “gudang” sumber daya,
terdapat banyak sumber daya alam dan sumber daya manusia. Eksploitasi
ekonomi merupakan bukti nyata dari kebijakan yang sangat merugikan
pribumi. Pengurangan produksi perkebunan mengakibatkan para petani yang
menganggur memilih untuk menjadi romusha. Lingkaran setan eksploitasi
ekonomi ini terus ada sampai tahun 1945, ketika Jepang menyerah pada
sekutu dan Indonesia merdeka.
Dengan berbagai ketentuan
pemerintah Jepang tersebut, coba bandingkan dengan kegiatan monopoli
yang dilakukan pada zaman Hindia Belanda!
Adakah persamaannya?
Ketentuan Pemerintah Jepang
Monopoli VOC
Pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa ketentuan yang sangat ketat yang terkait dengan produksi padi.
- Padi berada langsung di bawah pengawasan pemerintah Jepang. Hanya pemerintah Jepang yang berhak mengatur untuk produksi, pungutan dan penyaluran padi serta menentukan harganya. Dalam kaitan ini Jepang telah membentuk badan yang diberi nama Shokuryo Konri Zimusyo (Kantor Pengelolaan Pangan).
- Penggiling dan pedagang padi tidak boleh beroperasi sendiri, harus diatur oleh Kantor Pengelolaan Pangan.
- Para petani harus menjual hasil produksi padinya kepada pemerintah sesuai dengan kuota dan harga yang telah ditentukan. Begitu juga padi harus diserahkan ke penggilingan padi yang sudah ditunjuk pemerintah Jepang. Hasil keseluruhan produksi, petani berhak 40%, kemudian 30% disetor kepada pemerintah melalui penggilingan yang telah ditunjuk, dan 30% sisanya untuk persiapan bibit dengan disetor ke lumbung desa.
Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC dalam melaksanakan monopoli perdagangan antara lain :
- Verplichte Laverantie yaitu penyerahan wajib hasil bumi dengan harga yg telah ditetapkan oleh VOC,dan melarang rakyat menjual hasil buminya selain kepada VOC.
- Contingenten yaitu kewajiban bagi rakyat untuk membayar pajak berupa hasil bumi.
- Peraturan tentang ketentuan areal dan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam.
- Ekstirpasi yaitu hak VOC untuk menebang tanaman rempah-rempah agar tidak terjadi over produksi yang dapat menyebabkan harga rempah-rempah merosot.
- Pelayaran Hongi yaitu pelayaran dengan perahu kora-kora (perahu perang) untuk mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan VOC dan menindak pelanggarnya.
Dari
kedua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berbeda,
kedua-duanya memiliki persamaan yaitu sama-sama menyengsarakan penduduk
lokal, pribumi. Selain itu kebijakan pemerintah Jepang dan VOC memiliki
persamaan sebagai berikut.
- Pemerintah melakukan pengawasan yang ketat terhadap hasil produksi pertanian rakyat.
- Penyerahan wajib hasil pertanian kepada pemerintah
Pada
pelaksanaanya di kota Blitar, Blitar salah satu sumber persediaan bahan
makanan yang penting bagi Jepang. Blitar merupakan wilayah yang
memiliki beragam faktor produksi seperti lahan pertanian dan juga
perkebunan. Perkebunan dikuasai oleh Jepang, sementara itu kayu-kayu
yang berasal dari perkebunan digunakan untuk membangun kubu pertanahan
bagi Jepang.
- Secara umum kondisi perekonomian Blitar pada tahun 1942-1945 menjadi lebih buruk apabila dibandingkan dengan masa Hindia Belanda. (
- Jepang menerapkan sistem ekonomi autarki dimana semua kegiatan perekonomian ditujukan untuk kebutuhan perang. Segala sumber-sumber ekonomi dikerahkan untuk tujuan perang. Diantaranya adalah pengumpulan beras kepada Kumiai, penebangan kayu-kayu untuk digunakan sebagai kubu-kubu pertahanan, pengerahan tenaga kerja secara besar-besaran sebagai romusha untuk membangun kubu-kubu pertahanan di pantai selatan Blitar. Hal-hal tersebut menyebabakan kondisi masyarakat Blitar semakin memprihatinkan.
- Berbagai kebijakan yang telah diterapkan Jepang di Blitar membawa dampak yang amat buruk bagi masyarakat Blitar. Jumlah penduduk menurun drastis karena meningkatnya jumlah kematian karena pengerahan romusha secara besar-besaran, kelaparan, kemiskinan, dan kesehatan serta gizi yang sangat buruk turut menggerakkan para parjurit PETA yang dipimpin oleh Supriyadi untuk memberontak. Pemberontakan tersebut dikarenakan para prajurit PETA menyaksikan sendiri bagaimana rakyatnya menderita dan ditambah dengan perlakuan buruk dari para tentara Jepang. Pada 14 Februari 1945 meletuslah pemberontakan PETA Blitar. Pemberontakan tersebut merupakan pemberontakan pertama yang menggoyahkan pemerintah Pendudukan Jepang walaupun pemberontakan tersebut dinyatakan gagal.
Sekian dulu kawan kawan artikel seputar pendidikan dengan topik pembahasan mengenai Alasan Mengapa Jepang Menerapkan Kebijakan Ekonomi Perang. Semogsa bisa memberikan wawasan dan informasi ayng edukatif buat kawan kawan semuanya yaa.